Syarat-syarat sahnya thowaf adalah :
أَنْ لاَ يَحُجَّ بَعْدَ العَامِ مُشْرِكٌ وَلاَ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ عُرْيَانٌ
“Ketahuilah, setelah tahun ini tidak boleh ada orang musyrik yang berhaji dan tidak boleh thawaf dalam keadaan telanjang di Ka’bah.” (HR Al-Bukhari no 369 dan Muslim no 1347) ([1])
Larangan thowaf telanjang menunjukan bahwa menutup aruot tatkala thowaf adalah syarat sah thowaf.
Sebagian ulama memperinci, yaitu syarat thowaf adalah suci dari hadats besar, akan tetapi bukanlah syarat : suci dari hadats kecil, yaitu tidak wajib berwudhu tatkala thowaf([3]). Akan tetapi seseorang berusaha untuk harus berwudhu sebelum thowaf, akan tetapi jika memang di tengah thowaf ia lalu berhadats dan dalam kondisi keramaian yang sangat padat -seperti di musim haji- maka tidak mengapa ia melanjutkan thowafnya. Karena mewajibkan seseorang yang dalam kondisi demikian untuk berwudhu dengan dalil yang tidak tegas dan jelas maka kurang tepat([4]).
Jika ada udzur, seperti wanita haid/nifas, apakah boleh thowaf ifadhoh jika tidak memungkinkan baginya untuk thowaf di waktu yang lain, karena rombongannya akan meninggalkan mekah? Maka ada khilaf di kalangan para ulama. Sebagian ulama membolehkan sang wanita untuk tetap thowaf meski dalam kondisi haid karena darurat([5]).