Sejarah Sa’i

Keempat : Hukum-hukum yang berkaitan dengan saí

Pertama : Tidak disyariátkan saí kecuali ketika umroh dan haji.

Sehingga tidak ada yang namanya saí sunnah. Ibnu Hajar rahimahullah berkata

لِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ عَلَى أَنَّ التَّطَوُّعَ بِالسَّعْيِ لِغَيْرِ الْحَاجِّ وَالْمُعْتَمِرِ غَيْرُ مَشْرُوعٍ

“Karena ijmak kaum muslimin bahwasanya melakukan sunnah saí tidaklah disyariátkan untuk selain orang yang berhaji dan berumroh” (Fathul Baari 3/499)

Hal ini berbeda dengan thowaf yang seseorang boleh berthowaf sunnah secara independent meskipun tidak sedang umroh maupun haji.

Kedua : Disunnahkan al-muwaalaat antara sái dan thowaf.

Yaitu berkesinambungan dan besambung antara saí dan thowaf, yaitu saí dilakukan langsung setelah thowaf, akan tetapi hal ini tidaklah wajib, karena saí merupakan ibadah yang independent (berdiri sendiri). Dan ini adalah pendapat madzhab Hanafi([2]), madzhab Syafií([3]), dan madzab Hanbali ([4]).

Karenanya jika seseorang sedang umroh, lalu ia melakukan thowaf, setelah itu ia letih dan istirahat dan baru melanjutkan saí keesokan harinya maka tidaklah mengapa. Tentunya ia masih dalam kondisi berihram.

Ketiga : Disunnahkan al-muwaalaat antara putaran saí yang satu dengan yang lain.

Akan tetapi hal ini tidaklah wajib([5]). Karena yang dituntut adalah melakukan saí sebanyak 7 putaran, maka kapan saja terwujudkan ketujuh putaran tersebut -baik berkesinambungan atau terpisah-pisah-, maka telah saí. Yaitu seseorang disunnahkan untuk melakukan putaran saí yang pertama hingga yang ketujuh secara bersambung, akan tetapi jika seseorang baru melakukan 2 putaran saí, lalu iapun pergi untuk buang air, setelah itu ia kembali melanjutkan putaran saí yang ketiga dan seterusnya maka tidaklah mengapa.

Keempat : Saí harus melewati antara kedua bukit tersebut.

Dalam artian seseorang harus menginjakan kakinya di bukit shofa dan bukit marwa. Jika ia saínya kurang dari pada itu maka tidak sah. Namun tidak harus naik ke atas bukit([6]), naik ke atas bukit hukumnya sunnah. Jika seseorang telah sampai di pagar yang dipasang buat orang-orang yang saí dengan kursi roda maka telah sah, karena ujung pagar tersebut berada di awal/lereng bukit shofa maupun bukit marwa([7]).

Kelima : Saí harus 7 putaran

Jika kurang dari 7 putaran maka tidak sah([8]). Metode menghitung 7 putaran, dari sofa ke marwa 1 putaran dan dari marwa ke sofa putaran kedua.

Keenam : Saí harus dikerjakan setelah thowaf.

Sehingga tidak boleh seorang saí dulu baru thowaf([9]). Akan tetapi dikecualikan pada tanggal 10 dzulhijjah, yaitu setelah wuquf di Arofah dan mabit di Muzdalifah maka seseorang boleh saja sa’i sebelum thowaf ifaadhoh([10]) berdasarkan hadits Abdullah bin Ámr bin al-Áash, dimana beliau berkata :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَفَ فِي حَجَّةِ الوَدَاعِ، فَجَعَلُوا يَسْأَلُونَهُ، فَقَالَ رَجُلٌ: لَمْ أَشْعُرْ، فَحَلَقْتُ قَبْلَ أَنْ أَذْبَحَ، قَالَ: «اذْبَحْ وَلاَ حَرَجَ»، فَجَاءَ آخَرُ فَقَالَ: لَمْ أَشْعُرْ فَنَحَرْتُ قَبْلَ أَنْ أَرْمِيَ، قَالَ: «ارْمِ وَلاَ حَرَجَ»، فَمَا سُئِلَ يَوْمَئِذٍ عَنْ شَيْءٍ قُدِّمَ وَلاَ أُخِّرَ إِلَّا قَالَ: «افْعَلْ وَلاَ حَرَجَ»

“Bahwasanya Rasulullah shallallahu álaihi wasallam berdiri tatkala haji wada’ (yaitu pada tanggal 10 Dzulhijjah dalam riwayat yang lain عِنْدَ الجَمْرَةِ “di sisi jamratul Áqobah”) maka orang-orangpun bertanya kepada beliau. Maka ada seseorang berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak sadar maka akupun menggundul rambutku sebelum aku menyembelih”. Maka Nabi berkata, “Sembelihlah dan tidak mengapa”. Lalu datang orang lain dan berkata, “Wahai Rasulullah aku tidak sadar, ternyata aku menyembelih sebelum aku melempar jamrotul Áqobah?”. Maka Nabi berkata, “Lempar saja dan tidak mengapa”. Maka tidaklah Nabi shallallahu álaihi wasallam pada hari itu ditanya sesuatupun yang dimajukan atau dimundurkan kecuali beliau berkata, “Lakukan saja tidak mengapa” (HR Al-Bukhari 1736 dan Muslim no 1306)

Perkataan Abdullah bin ‘Amr bin al-Áash, “Maka tidaklah Nabi shallallahu álaihi wasallam pada hari itu ditanya sesuatupun yang dimajukan atau dimundurkan…” menunjukan keumuman mencakup manasik manapun yang dimajukan atau dimundurkan, diantaranya saí dan thowaf.

Bahkan dalam riwayat yang lain يَا رَسُولَ اللَّهِ، سَعَيْتُ قَبْلَ أَنْ أَطُوفَ “Wahai Rasulullah, aku saí sebelum thowaf”, maka Nabi berkata, لَا حَرَجَ لَا حَرَجَ “Tidak mengapa, tidak mengapa” (HR Abu Dawud no 2015 dan dishahihkan oleh An-Nawawi (lihat al-Majmuu’ 8/78), Al-Albani, Al-Arnauuth, dan al-A’dzomi)

Ketujuh : Perkara-perkara yang tidak disayaratkan dalam saí :

  • Tidak disyaratkan niat khusus dalam sa’i, karena niatnya sudah dicukupkan dengan niat di awal haji. Karena haji adalah ibadah yang tersusun dari beberapa ritual, diantaranya sa’i. Sebagaimana seseorang tatkala sholat maka cukup niat di awal dan tidak perlu niat khusus untuk ruku’ dan niat khusus untuk sujud. Namun tentunya menghadirkan dalam hati bahwa melakukan saí karena Allah adalah perkara yang baik.
  • Tidak disyari’atkan bersuci, baik dari hadats besar maupun hadats kecil, berdasarkan ijmak ulama. Hal ini karena sa’i ibadah yang tidak berkaitan dengan ka’bah maka mirip dengan wuquf di ‘Arofah yang tidak disyaratkan bersuci
  • Tidak disyaratkan menutup ‘aurot dalam sa’i. Jika tidak disyaratkan bersuci maka apalagi menutup aurot, karena syarat bersuci lebih tinggi daripada syarat menutup aurot