Ibnu Umar berkata :
مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يَغْتَسِلَ الرَّجُلُ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ
“Termasuk sunnah adalah seseorang mandi jika hendak berihram”([1])
Demikian juga Nabi memerintahkan Asmaa’ binti Úmais yang nifas untuk mandi sebelum ihram([2]), padahal wanita nifas mandinya tidak menjadikannya suci maka begitu pula dengan orang yang suci lebih utama untuk mandi karena mandinya bermanfaat baginya untuk lebih suci dalam beribadah.
Catatan :
Ibnu Taimiyyah berkata :
وَإِنْ احْتَاجَ إلَى التَّنْظِيفِ: كَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ وَنَتْفِ الْإِبِطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَعَلَ ذَلِكَ. وَهَذَا لَيْسَ مِنْ خَصَائِصِ الْإِحْرَامِ
“Jika ia perlu untuk bersih-berish seperti memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan dan yang semisalnya, maka hendaknya ia melakukannya. Akan tetapi hal ini bukan perkara-perkara khusus yang berkaitan dengan ihram” (Majmuu’Al-Fataawaa 26/109)
Asiyah berkata
كُنْتُ أُطَيِّبُ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم لإِحْرَامِهِ حِينَ يُحْرِمُ، وَلِحِلِّهِ قَبْلَ أَنْ يَطُوفَ بِالْبَيْتِ.
“Aku memakaikan minyak wangi kepada Rasūlullāh shallallāhu ‘alaihi wa sallam tatkala beliau hendak berihram, aku juga memakaikan minyak wangi setelah Nabi bertahallul (yaitu tahallul awal setelah beliau melempar jamroh dan mencukur rambut-pen) sebelum beliau berthawāf di Ka’bah.” (HR Bukhāri no 1539 dan Muslim no 2040)
Disini jelas bahwa ‘Āisyah radhiyallāhu Ta’āla ‘anhā mengenakan minyak wangi pada badan Rasulullah sebelum Rasulullah berihram.
Aisyah juga berkata
كَأَنِّيْ أَنْظُرُ إِلَى وَبِيْصَ اْلمِسْكِ فِيْ مَفْرَقِ رَسُوْلِ اللهِ وَهُوَ مُحْرِمٌ
“Seakan-akan aku melihat ada kilatan bekas minyak rambut di bagian belahan rambut kepala Nabi shallallāhu ‘alayhi wa sallam tatkala beliau sedang ihram.” (HR Muslim no 1190)
Aisyah juga berkata :
كُنَّا نَخْرُجُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى مَكَّةَ، فنُضَمِّدُ جِبَاهَنَا بِالسُّكِّ المُطَيَّبِ عِنْدَ الإحْرَامِ، فَإِذَا عَرِقتْ إِحْدَانَا؛ سَالَ عَلَى وَجْهِهَا، فَيَرَاهُ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؛ فَلاَ يَنْهَانَا
“Kami keluar bersama Nabi shallallahu álaihi wasallam ke Mekah, maka kamipun mengoles dahi kami dengan as-Sukk (sejenis minyak wangi) tatkala hendak ihram. Maka jika salah seorang dari kami (para istri Nabi) berkeringat maka minyak wangi tersebut mengalir ke wajahnya. Lalu Nabi shallallahu álaihi wasallam melihatnya namun Nabi tidak melarng kami” (HR Abu Dawud no 1606, Ahmad no 24502, dan dishahihkan oleh Al-lbani)
Ibnu Hajar berkata, “Sangat jelas sekali bahwasanya dzat minyak wangi tersebut masih tersisa” (Fathul Baari 3/399)
Ada dua pendapat ulama dalam hal ini:
Pertama : Disunnahkan sholat sunnah dua rakaát sebelum berihram. Dan ini adalah pendapat 4 madzhab, bahkan An-Nawawi menyatakan hal ini adalah ijma’ ([3])
Kedua : Disunnahkan berihram setelah sholat fardu, dan jika tidak bertepatan dengan selesai sholat fardu maka tidak disunnahkan sholat khusus 2 rakaát sebelum berihram. Memang benar Nabi shallallahu berihram setelah sholat, akan tetapi sholat tersebut adalah sholat fardu, bukan sholat khusus ihram([4]), dan ini adalah pendapat salah satu riwayat dari al-Imam Ahmad (lihat al-Inshoof, Al-Maawardi 8/143) dan dipilih oleh Ibnu Taimiyyah (lihat Majmuu’ Al-Fatawa 26/108-109)
Sebagian ulama mengambil jalan tengah, yaitu jika seseorang orang berihram setelah sholat fardu maka itu yang terbaik, akan tetapi jika waktunya tidak pas dengan selesai sholat fardu maka hendaknya ia melakukan sholat sunnah yang disunnahkan seperti sholat sunnah wudhu, atau ketika di masjid miqot ia melakukan sholat tahiyyatul masjid baru kemudian ia berihram. (Lihat Fatawa Nuur ála ad-Darb, Bin Baaz 17/240-242)